Taragak Pulang ke Kampuang Nenek

Assalamu'alaikum,
Halo apa kabar?
Hari ini hari kedua Lebaran Idul Fitri 1445 Hijiriah.
Entah kenapa setiap lebaran aku merindukan kampung nenek. Kampung nenekku berada di sebuah daerah di Sumatera Barat yang bernama Simpang Ampek, desa kecil di Pasaman Barat.
Dulu ketika aku kecil, hampir setiap lebaran kami mudik kesana. Perjalanan mudik dengan melalui jalan darat selama 16 jam anehnya tidak terasa melelahkan bagiku. Sepanjang perjalanan aku akan menghapalkan urutan-urutan kota yang kami lalui (walaupun sekarang tidak hapal lagi hahaha) dan selalu bertanya plat nomor dari kendaraan yang berlalu lalang itu berasal dari daerah mana saja ke papaku, dan papaku tidak pernah bosan berulang kali menjawab pertanyaanku yang lagi lagi lupa lagi dan bertanya lagi setiap tahunnya, that's why aku hapal plat nomor kendaraan di Sumatera !

Aku ingat sebelum berangkat mudik mamaku menyiapkan semua barang-barang dan perbekalan yang akan kami bawa. Biasanya aku membantu menyiapkan makanan karena aku masih kecil dan belum terlalu mahir packing. Aku masih ingat nasi putih panas yang dibungkus dengan daun pisang dan lauk yang kami bawa selain rendang (tentu saja karena super power rendang yang tetap bisa enak dan bertahan lama dalam keadaan apapun, hoho) lauk yang selalu ada untuk perjalanan itu telur balado. 

Selama perjalanan, kami biasanya berhenti di beberapa daerah/tempat untuk beristirahat, tentu saja time to rest dibutuhkan karena cuma papa yang menyetir sepanjang perjalanan. Aku selalu kagum dengan skill menyetir papa yang lihai sekali, tenang, cepat tetapi tidak ugal-ugalan. Papa mengenal jalan lintas Sumatera seperti mengenal telapak tangannya sendiri. Kota pertama yang biasanya kami singgahi itu adalah Siantar yang terkenal dengan roti ganda-nya. Biasanya kami akan berhenti mampir sebentar untuk membeli roti ganda yang masih panas dan harum dioles dengan srikayanya yang manis, lezat.
Kota lain yang biasanya kami singgahi adalah Siborong-Borong, kota kecil yang masih masuk wilayah Sumatera Utara. Aku masih ingat nama rumah makan yang selalu kami jadikan tempat beristirahat setiap perjalanan mudik, Rumah Makan Roda Baru, yang toiletnya punya air pancuran yang airnya mengalir langsung dari gunung, dingin dan segar sekali. Biasanya kami memesan teh panas dan berhenti untuk makan proper disini (sisanya biasanya kami makan di kebun-kebun sawit di pinggir jalan raya lintas Sumatera, maklum, dulu disana tidak ada yang namanya rest area, aku tidak tahu kalau sekarang).
Kota terakhir yang biasanya kami singgahi sebelum officially tiba di rumah nenek yaitu Padang Sidempuan, kota ini menjadi pembatas antara Sumatera Utara dengan Sumatera Barat sebelum Rao (di Rao masyarakatnya mayoritas terdiri dari dua etnis, etnis Mandailing dan etnis Minang). Kota ini terkenal dengan salaknya yang enak dan manis.

Rumah nenek cukup besar dengan dua lantai, dengan warung kecil di halaman rumput yang luas dan dibelakang rumah ada bangunan yang cukup besar yang isinya mesin mesin penggiling padi diilengkapi dengan lahan yang sangat luas sekali untuk menjemur padi sebelum digiling. Dinaungi pohon-pohon kelapa yang berjejer rapi. Di dekat situ juga ada kandang kandang sapi dan kambing. Ah rindunya.
Biasanya kami kloter terakhir yang sampai setelah sebelumnya kakak dan adik papa yang dari Lampung dan Jakarta tiba lebih dulu. Kami memang selalu tiba terakhir karena mungkin merasa jaraknya paling dekat dengan kampung nenek hahaha.

Papaku sembilan bersaudara, bisa dibayangkan betapa ramainya rumah nenek setiap lebaran karena semua anaknya mudik pada saat bersamaan. Karena kamar sudah pasti tidak muat, maka cucu-cucu nenek akan tidur di ruang tamu dengan kasur yang dijejerkan. Sampai dengan aku SD listrik baru masuk ke kampung nenek tetapi pemakaiannya dibatasi, jadi kami akan tidur dengan lampu teplok (di kampung nenekku namanya lampu semprong) dan esok paginya terbangun dengan ujung hidung yang hitam-hitam, hahaha. Kampung nenekku lumayan dingin saat malam. Dan disana tidak ada kamar mandi seperti di rumah, Ada tempat mandi yang berupa sumur, jadi kalau kebelet pipis malam-malam, aku harus menimba dulu. Timbanya juga bukan model kerekan tentu saja, tetapi ember kecil yang dilengkapi tali, sehingga aku harus melempar ember tersebut dengan posisi terbuka ke bawah dan menenggelamkannya sehingga air akan masuk lalu menariknya ke atas. Perjuangan sekali ya.
Pintu ke arah sumur tersebut juga hanya pintu yang terbuat dari seng.
Terus gimana kalo mau BAB? Tenang, ada toilet satu lagi yang terdiri dari jamban dan bak super besar aku bahkan tidak pernah melihat ke dasarnya karena aku masih kecil sekali, Dengan penerangan super redup dan nuansa batu (iya, semuanya cuma disemen tidak dicat) mendadak aku jarang sakit perut tiap di rumah nenek. Konon katanya didalam bak itu ada ikannya, tapi aku tidak pernah melongok ke dalam bak karena terlalu takut.


kakek nenek dan kesembilan anaknya


Pagi-pagi bangun tidur aku biasanya akan ke dapur, dan tentu saja tungku-tungku kayu di dapur sudah menyala. Aku duduk menyusul nenekku yang sudah cantik dan harum (nenekku harum sekali, sabun favoritnya adalah giv putih dengan wangi jasmine, nenek tidak pernah mengganti sabunnya, dan bedak marcks warna rose) sedang memakan sirih. Aku akan nimbrung dan ikut membuat sirih. Mengambil selembar daun sirih, diolesi dengan olesan kapur sirih, kemudian diisi dengan pinang dan cengkeh, kemudian digulung. Tentu saja aku tidak memakannya, gulungan sirih itu aku berikan ke nenekku. Nenekku akan memakannya dan bibirnya akan belepotan kemerahan dari warna sirih yang sudah dikunyah.
Orang-orang warga kampung berlalu lalang di depan teras samping rumah nenek sambil menggiring sapi dan kambingnya, suara mesin padi yang sudah dinyalakan, jejeran padi di halaman, monyet yang sedang memanjat pohon kelapa untuk mengambil kelapa-kelapa yang sudah tua dan siap dipetik.
Kadang tante-tanteku kadang mengajak aku dan sepupu-sepupuku untuk berburu jamur yang cuma ada setelah subuh dan akan menghilang kalau matahari sudah muncul, jadi setelah subuh dan saat embun belum menghilang kami akan pergi ke sawah-sawah berburu jamur tersebut. Jamur itu nantinya yang akan digulai. Konon katanya jamurnya enak, tetapi aku tidak tahu rasanya karena aku dulu tidak begitu bisa makan makanan pedas dan rata-rata semua gulai dan lauk pauk di rumah nenek pasti rasanya pedas.
Setelah sarapan biasanya kami pergi ke sungai, ibu-ibu mencuci tumpukan baju yang segunung dan anak-anak langsung berenang dan bermain air. Ada jembatan yang dilalui kendaraan diatas sungai tersebut, dan biasanya aku akan melambai-lambaikan tangan ke orang-orang yang lewat saat aku berenang.



aku dan papi di teras samping rumah nenek


Siang di rumah nenek biasanya dihabiskan dengan bermain masak-masakan di warung nenek, memetik jambu biji yang pohonnya ada di halaman, atau membuat inai untuk hiasan kuku pada saat lebaran nanti. Menyenangkan.
Kadang aku dan sepupu-sepupuku pergi bermain ke sungai-sungai di atas bukit, kami naik motor ke atas bukit, nyebur, bermain air, dan kemudian pulang.
Saat malam biasanya kami bermain kembang api dan jajan sate Padang yang lewat-lewat di depan rumah nenek, dilanjutkan dengan mendengarkan cerita-cerita hantu yang diceritakan sepupuku, kak Ria, dia pandai sekali bercerita.

Oiya, setiap lebaran kami juga merayakan ulang tahun nenek. Nenek tidak tahu pasti di tanggal berapa beliau dilahirkan, jadi tanteku (adiknya papa) memutuskan ulang tahun nenek setiap lebaran, agar bisa dirayakan terus bersama-sama dengan seluruh anak dan cucunya karena setiap lebaran sudah pasti kami akan berkumpul. Aku yang biasanya didaulat untuk menjadi MC di ulang tahun nenekku. Acaranya cukup meriah karena tanteku selalu mengadakan games dan biasanya acara tersebut diakhiri dengan pembagian goodie bag dan makan nasi padang bersama-sama. Momen terindah disaat itu.

Sekarang nenek sudah tidak ada, rumah nenek di kampung pun sudah terbengkalai dan tidak ada yang menempati. Setiap mendengar lagu Taragak Pulang dan Mudiak Arau, kenangan kenangan di rumah nenek selalu muncul lagi dengan jelas dan terasa hangat. Mungkin momen itu tidak akan terulang lagi, tetapi kenangan tentang nenek dan mudik yang berkesan akan selamanya ada di hatiku. Mungkin bagiku mudik bukan hanya sekedar pulang ke rumah, tetapi juga pulang ke tempat dimana hati kita bergembira bersuka cita, mengetahui ada orang orang yang kita sayangi dan menyayangi kita ada bersama-sama kita, menghabiskan waktu bersama karena tidak ada yang tahu batas waktu kita bersama orang-orang yang kita sayang.

Buat yang mudik di lebaran ini, enjoy your time with loved ones to the fullest !
Dan untuk yang belum berkesempatan mudik, semoga diberikan kebahagiaan dengan orang-orang tercinta di sekeliling. Karena mudik bukan masalah pulang, tetapi dimana hati kita merasakan nyaman.


Rizta kecil dan nenek



Love,
Rizta

Komentar

Postingan Populer